Dousei Kara Hajimaru Otaku Kanojo no Tsukurikata - Volume 2 Chapter 7 Bahasa Indonesia

 Bab 7


 Percakapanku dengan Yume berakhir di sana, tapi Elena dan aku terus mengirim pesan satu sama lain.  Dia memberi tahuku tentang apa yang akan terjadi dengan videonya — sebanyak yang diperbolehkan kontraknya.  Dia kemudian memberi tahuku kalau pertemuannya dengan perusahaan akan diadakan minggu ini, dan dia akan melakukan yang terbaik untuk memberi tahu mereka pendapatnya sehingga dia tidak akan menyesal nantinya.

 Aku berharap segalanya akan berjalan lancar untuknya.

 Meskipun aku kecewa karena Yume dan aku tidak bisa terus mengobrol, aku memutuskan untuk mencoba mengirim pesan lagi segera.

 Tentu saja, kami juga saling mengikuti di Twitter, tapi sebenarnya aku bahkan tidak melihat membuka Twitter sejak aku tahu kalau Mashiro telah membohongiku — aku tidak ingin mengingat tentangnya lagi.  Dia sering men-tweet, jadi aku akan melihat postingannya di timelineku, tapi aku juga tidak ingin memblokirnya.

 Benar-benar berhenti bermain Twitter karena seorang gadis akan terlalu berlebihan...

 Aku ingin melihat apa saja minat Yume, dan membalas salah satu tweetnya jauh lebih mudah daripada mengirim pesan pribadi di LINE.  Jadi, sambil berguling-guling di tempat tidur, aku memutuskan untuk membuka aplikasi Twitter di ponselku.

 Sebelum aku memeriksa profil Yume, aku menggulir timelineku karena penasaran.  Tentu, aku tahu — aku akan melihat tweet Mashiro, dan tahu betul kalau aku hanya akan menyesalinya.  Dia mungkin masih mencari perhatian dari pasukan pengikutnya.

 "Hah?"

 Namun aku tidak dapat menemukan tweet baru darinya.

 Apakah dia memblokirku?  Pikirku, tiba-tiba takut, aku memeriksa daftar pengikutku.  Namanya masih ada, dan dia masih mengikutiku.  Itu berarti dia tidak memblokirku, tapi untuk beberapa alasan dia berhenti men-tweet.  Aku harus memastikannya, jadi aku memeriksa profilnya.

 Dia tidak men-tweet sama sekali sejak kami bertengkar di depan kafe.  Sebelum itu, dia biasanya akan men-tweet beberapa kali sehari, bahkan hanya untuk menulis "selamat pagi" dan mendapatkan puluhan balasan dari pengikutnya (mungkin yang laki-laki).  Tapi sekarang... tidak ada.

 Beberapa orang (mungkin yang laki-laki) bahkan menyebutnya di tweet, menanyakan kenapa dia tidak men-tweet baru-baru ini, bertanya apa dia sakit, dan sebagainya yang seperti itu.

 Apa yang terjadi dengannya?  Apakah dia benar-benar sakit atau apa?

 Aku sangat ingin tahu apakah semua pikiranku sekarang teralihkan pada Mashiro.  Hingga aku lupa mengirim pesan ke Yume...


 Sekarang adalah hari terakhirku di kafe.

 "Pekerjaan ini selesai minggu depan, ya," kata Kusumi saat aku sedang mencuci piring.

 “Oh, sebenarnya… ini hari terakhirku,” kataku.

 "Apa?!  Benarkah?!  Ini hari terakhir kita bekerja bersama?!”  serunya sebelum kembali ke mood-nya yang suram.  "Kau tahu... Aku sebenarnya mulai bekerja di sini agar aku bisa berpacaran dengan salah satu maid..."

 "A-Apa kau harus mengatakan itu sekarang?"

 Itu bukan sesuatu yang seharusnya kau katakan dengan lantang saat sedang bekerja, pikirku, dengan mudah melupakan motivasiku sendiri.  Syukurlah tidak ada pelanggan yang duduk di konter.

 “Pada akhirnya, aku tidak bisa pacaran dengan salah satu dari mereka, dan benar-benar tidak berhasil mendekati orang yang benar-benar kusuka.  Tapi, apa kau tahu, aku senang bisa mendapatkan teman baru yang hebat!”  katanya.

 Bagaimana dia bisa mengatakan hal seperti itu secara langsung dan menatap wajahku, aku tidak tahu.  Itu agak memalukan;  ke titik di mana aku bingung bagaimana cara merespons itu pada awalnya.  Namun begitu, aku tidak bisa tidak merasa senang karenanya.  Aku bersyukur memiliki seseorang seperti Kusumi yang bekerja bersamaku.

 "Kita harus bertemu kapan-kapan, setelah pekerjaan ini selesai!"  Katanya.

 “Oh… kurasa kau benar!”

 Ketika shiftnya berakhir, kami mengucapkan selamat tinggal dan aku ditinggalkan sendirian di dapur.  Mashiro satu shift denganku malam ini, dan aku sangat sadar akan kehadirannya.  Saat aku sedang membersihkan gelas, aku melihat dia berbicara dengan seorang pelanggan.  Itu sangat mengejutkanku, dia sama sekali tidak terlihat sakit.

 Tapi kenapa dia tetap diam di Twitter jika dia tidak sakit?

 "Aku mau omurice dan es kopi."

 "Baiklah master..."

 Dia menerima pesanannya seperti biasa.  Tentu saja, saat dia bekerja, dia harus tetap tersenyum cerah sepanjang waktu, yang membuatnya terlihat baik-baik saja, mungkin ini hanya imajinasiku, tapi dia tampaknya kurang bersemangat, tidak seperti biasanya.

 “Kau sudah terbiasa bekerja dapur, ya?  Apa sudah sebulan sejak kau mulai bekerja?”  Sasaki, yang biasa duduk di konter, bertanya padaku.

 “Ya, kurang lebih… Tapi sebanarnya ini adalah hari terakhirku,” jawabku.

 "Apa?!  Kau berhenti?  Tapi kau baru saja mulai bekerja.”

 "Aku tahu, tapi kontrakku hanya sebulan ..."

 “Awww!  Melihatmu perlahan-lahan memahami pekerjaan itu adalah salah satu hal yang selalu kunantikan…”

 “B-Benarkah?  Haha terima kasih."


 Selama istirahat, aku duduk-duduk di ruang istirahat.  Aku benar-benar satu-satunya staf di ruang istirahat kali ini, jadi aku bisa membiarkan pikiranku mengembara tanpa khawatir mendengar hal-hal buruk lagi.

 Aku masih belum memberi tahu Mashiro kalau hari ini adalah hari terakhirku ...

 Terlepas dari dia telah menghancurkan perasaanku, aku sedih karena kami tidak akan pernah bertemu lagi.  Sangat disayangkan juga kami harus berpisah dengan cara yang buruk.

 Baiklah.  Aku akan berkonsentrasi untuk menemukan cinta di tempat lain.  Aku yakin itu akan membuatku melupakannya pada akhirnya, pikirku, merasa agak emosional.

 "Jadi, katakan, kamu punya pacar, ‘kan?"  Aku mendengar suara asing dari ruang makan.  Karena ruang istirahat dengan dapur hanya dipisahkan oleh tirai, jadi dari sini kau bisa mendengar sebagian besar percakapan yang terjadi di kafe.

 "Tidak, sungguh, aku belum punya pacar."

 Suara itu... Mashiro ada di dapur.

 "Kamu tidak men-tweet apa pun kecuali saat giliran kerjamu, dan kamu tidak membalasku lagi sama sekali!"

 “Sepertinya aku sudah pernah mengatakan ini sebelumnya, tapi itu adalah peraturan kafe, kami hanya boleh membalas satu kali per pelanggan di setiap thread…” kata Mashiro, jelas kesal dengan cara pelanggan itu berbicara padanya.

 “Tentu, aku mengerti, tapi aku juga memeriksa akun utamamu, dan kamu juga tidak men-tweet apa pun di sana.  Jadi pasti kamu punya pacar.  Ada seorang pria yang kamu kirimi balasan beberapa waktu lalu.  Apakah dia orangnya?”

 “K-Kamu tahu akun utamaku?!”

 Mashiro memiliki akun Twitter pribadi dan akun maid untuk memposting tentang pekerjaan di kafe, tapi akhir-akhir ini dia tidak terlalu sering menggunakan keduanya.

 “Ya, tidak sulit untuk menemukannya.  Aku juga mengikutimu di akun itu.”

 Orang ini menguntitnya di internet dan menemukan akun utamanya... Apakah ini baik-baik saja?  Dia terdengar sangat mengerikan...

 “Apa kelebihannya?  Dia punya sesuatu yang kamu suka, ‘kan?  Aku melihatmu mengomentari tweet-nya beberapa kali.  Apakah dia pacarmu?"

 Dan dia membicarakanku sekarang?!  Memang benar kalau Mashiro terkadang menggunakan akun utamanya untuk membalas tweet-ku, tapi...

 "B-Bukan begitu ..."

 “Hmm, kamu ingin menggunakan alasan itu lagi?  Lagi pula, peraturan kafe tidak berlaku untuk akun utamamu, ‘kan?  Jadi jika aku mengomentari tweet-mu di sana, kamu bisa membalasku sebanyak mungkin!”

 Ugh.  Orang ini mulai terdengar berbahaya...

 Karena Kusumi sudah pergi, aku adalah satu-satunya staf laki-laki yang sedang bekerja.

 Apa itu penting?  Lagipula ini hari terakhirku di sini.  Aku mengumpulkan semua keberanianku dan berjalan kembali ke dapur.

 Mashiro menatapku, terkejut.

 “Permisi, Pak,” kataku kepada pelanggan di konter itu, “bisakah Anda menahan diri untuk tidak menanyakan pertanyaan pribadi kepada staf kami?”

 “H-Hah?  Aku tidak melakukan itu!”  jawab pelanggan dengan gugup.  Dia masih muda, seorang pria kurus.

 “Anda dengan sengaja mencari akun Twitter pribadi maid ini dan memintanya untuk membalasmu lebih dari yang diizinkan oleh aturan kafe.  Anda jelas-jelas membuatnya merasa tidak nyaman," kataku.

 "Apa?!  Apa yang membuat merasa tidak nyaman dari itu?! ”

 Mashiro menatapku dalam diam.  Dia pasti bingung.

 "Bagaimanapun... aku harus melaporkan ini ke manajer," kataku.

 "Ah...?!  Jeez!  Sudahlah!  Mana tagihanku!”  jawab pelanggan itu, frustrasi, sambil dengan cepat mengeluarkan dompet dari tasnya.  Mashiro segera memberinya tagihan.

 Setelah memastikan pelanggan itu selesai membayar dan meninggalkan kafe, aku kembali ke ruang istirahat.

 Tirai bergerak, dan kepala Mashiro menyembul melalui itu.

 "Terima kasih..." katanya tanpa melihat ke arahku.

 "S-Sama-sama ..."

 Kupikir mungkin aku terlalu keras pada pelanggan itu.  Tentu saja, aku tidak ingin dia memperlakukan Mashiro lebih buruk lagi karena aku.  Untuk saat ini, hal terbaik yang harus kulakukan adalah memberi tahu manajer tentang hal itu, sehingga dia melarangnya mengunjungi kafe lagi.

 Setelah diam beberapa saat, Mashiro menutup tirai dan kembali bekerja.


 Setelah istirahat, aku bekerja selama dua jam terakhirku di kafe.  Kemudian aku ganti baju dan mengeluarkan ponselku untuk menghabiskan waktu.  Aku sedang sial, dari semua hari, hari ini shift Mashiro berakhir pada waktu yang sama denganku.  Untuk menghindari kecanggungan, aku memutuskan untuk menunggu beberapa menit hingga dia pergi lebih dulu dan kami tidak akan bertemu satu sama lain.

 Ketika aku mendengar suara pintu ruang ganti perempuan dibuka dan ditutup, aku tahu dia sudah selesai ganti baju.  Aku keluar dari ruang ganti laki-laki dan menemukan manajer di ruang istirahat.

 “Oh, halo…” sapaku.  "Ini hari terakhirku... Pekerjaan ini menyenangkan bagiku."

 "Bagiku juga.  Kerja bagus.  Pastikan untuk menghemat gajimu sampai bulan depan, ” jawabnya seperti robot.

 "Tentu saja.  Dan, eh... Ada pelanggan bermasalah hari ini, dan kupikir akan lebih baik untuk melarang dia mengunjungi kafe lagi.  Dia menemukan informasi pribadi salah satu maid, seperti akun Twitter pribadinya, dan dia bahkan memintanya untuk melanggar peraturan kafe tentang membalas pelanggan.  Untuk nama pelanggan itu, Anda bisa bertanya pada Mashi ... Gojo. ”

 "Hah?  Benarkah?  Aku akan menanyakan itu padanya nanti.  Terima kasih."

 Sekarang aku sudah melakukan apa yang harus kulakukan.

 Berpikir melankolis tentang bagaimana aku tidak akan pernah datang ke kafe ini lagi, aku membuka pintu dan berjalan menaiki tangga.  Aku terkejut menemukan Mashiro berdiri di luar pintu masuk.

 “I-Ini menyenangkan…”

 “M-Mashiro?  Apa...?”

 “Hari ini adalah hari terakhirmu di kafe, ‘kan?  Aku hanya ingin berbicara denganmu untuk terakhir kalinya.”

 “T-Tapi maid dilarang terlihat bersama staf pria di sekitar kafe...”

 Dia ingin berbicara denganku?  Kenapa sekarang?

 "Kamu bukan staf lagi," katanya.

 Dia tampak dan terdengar begitu jauh.  Nada suaranya lebih rendah, bicaranya lebih lambat, dan wajahnya tenang tanpa senyum.  Mungkin inilah Mashiro yang asli.

 “K-Kurasa begitu.  aku juga tidak keberatan…” jawabku.

 Karena aku sudah tidak bekerja di kafe lagi, aku tidak perlu menghawatirkan peraturan itu lagi.  Dia adalah satu-satunya yang akan mengambil risiko, jadi, jika itu pilihannya, aku tidak punya alasan untuk keberatan.

 "Aku sangat berterima kasih atas apa yang kamu lakukan untukku tadi di dapur," katanya.

 "Jangan khawatir tentang itu... Oh, dan aku sudah melaporkan kepada manajer tentang itu dan mereka akan melarang pelanggan itu mengunjungi kafe, jadi ketika kamu ada waktu, kamu harus memberi tahu dia siapa namanya."

 "Benarkah?  Terima kasih!"  katanya, dan kemudian percakapan berhenti.  Kami saling memandang dalam diam, canggung.

 Apa yang sebenarnya ingin dia bicarakan?  Aku tidak tahan dengan keheningan ini, pikirku, dan memutuskan untuk memecahkannya sendiri.

 “Kamu tidak bermain Twitter sama sekali akhir-akhir ini.  Padahal biasanya kamu men-tweet setiap hari.”

 “Oh… aku berhenti bermain Twitter,” jawabnya.

 "Hah?!"

 “Setelah berhenti, akunnya akan tetap ada selama sebulan.”

 “Tapi kenapa kamu berhenti bermain Twitter?!”

 "Karena itu tidak ada gunanya... Apa gunanya memiliki begitu banyak orang sepertimu...?"  katanya, tanpa emosi.

 "Apa?"

 "Aku bodoh," katanya, seolah setiap kata yang keluar dari mulutnya membuatnya sakit.  “Bahkan jika semua orang memberimu pujian dan jatuh cinta padamu... Untuk apa itu?  Apa gunanya jika orang yang benar-benar kamu sayangi tidak menyukaimu?  Atau lebih buruk lagi, kamu akhirnya membuatnya membencimu?”

 Dia mengalihkan pandangannya dariku dan tersenyum pahit.  Matanya tampak berkilauan.

 T-Tunggu... "Orang yang benar-benar kamu sayangi?"  Apakah itu... aku?  Tidak, tidak mungkin.  Itu pasti kebohongan lainnya.

 “Bukankah kamu mengatakan itu hanya agar aku mulai menyukaimu lagi?  Agar kamu bisa memanfaatkanku?”  Tanyaku.  Aku tidak memilih kata-kataku dengan hati-hati karena aku takut jika aku menunjukkan sedikit kelembutan, Mashiro akan menganggapnya sebagai kesempatan untuk membodohiku lagi.

 "A-Apa yang kamu bicarakan?!"  Katanya.  Suaranya semakin keras.  “Siapa yang akan melalui begitu banyak rintangan hanya untuk memanfaatkan seseorang?!  Siapa yang akan melakukan semua itu untuk seseorang yang tidak dia sayangi?!”

Matanya, sekarang penuh air mata, menusuk lurus ke mataku.  Tidak peduli seberapa besar aku tidak mempercayainya, aku tidak bisa membuat diriku percaya kalau dia sedang berbohong sekarang.

 “Tapi kamu bicara tentang melumasi roda dan semacamnya...” kataku.

 Sejujurnya aku tidak tahu.  Apakah dia berbohong saat itu atau berbohong sekarang?

 “Kamu mendengar pembicaraanku di ruang ganti, dan kamu menemukan rahasiaku,” katanya, mengingatkanku tentang apa yang terjadi beberapa hari sebelumnya.

 Aku menemukan gadis yang kuyakini seperti malaikat dapat berbicara sekasar Iroha, dan dia adalah otaku hardcore dalam hal-hal yang berkaitan dengan seiyuu pria.  Namun, percakapan kami setelah itu sangat mengejutkanku hingga aku hampir lupa tentang apa yang kudengar, yang dia katakan di dalam.

 “Ketika aku melihat reaksimu saat tahu tentang hobiku yang sebenarnya, kupikir kamu sudah tidak suka denganku.  Aku sangat frustrasi, aku mengatakan semua itu ... "

 Apa...?

 “Hobiku, kepribadianku... Aku tahu kalau semua tentangku akan membuat laki-laki menjauh dariku.  Jadi kupikir begitu kamu tahu itu, Kamu tidak ingin berhubungan denganku lagi ... "

 "Apa?!  Jadi semua tentang hanya ingin mendapatkan orang lain yang menyukaimu... Apakah itu bohong?”

 “Apakah aku akan melalui semua rintangan ini jika itu satu-satunya alasanku?!  Mungkin aku akan berpura-pura ramah hanya untuk sopan-santun jika aku bertemu kamu, tentu saja, tapi apakah aku akan terus mengirimimu pesan?  Apakah aku akan membuatkanmu kue mangkuk?  Tentu saja tidak!"  dia menangis, wajahnya sangat memerah hingga bahkan telinganya terlihat merah.

 Tunggu sebentar.  Jadi dia, uhm, sebenarnya menyukaiku, setidaknya sedikit?  Apakah itu yang coba dia katakan sekarang?

 "J-Jika itu benar, lalu... apa alasan lainmu?"  Tanyaku.

 “Saat pertama kali kita bertemu... kupikir kamu adalah tipeku.  Dan sepertinya kamu juga menyukaiku, jadi tentu saja itu membuatku bahagia.  Jadi kupikir akan lebih baik untuk mencoba dan berkencan…” jelasnya, semakin merah.

 Sepertinya?  Dia benar-benar berpikir begitu tentangku?!

 “Dan ketika kita kencan, kamu lebih baik dan lebih perhatian daripada yang kuharapkan dari seseorang yang jelas tidak pernah punya pacar.  Kupikir mungkin aku bisa menjadi pacarmu, tapi…”

 Apakah dia baru saja mangatakan kalau akan terlihat seperti tidak pernah punya pacar?!  Dan dia bahkan berpikir untuk menjadi pacarku tanpa bertanya apakah aku mau atau tidak.  Serius?!

 “...walaupun kamu lebih tua dariku, akulah yang harus menanyakan kontakmu dan mengajakmu kencan saat itu!  Dan kemudian kamu pergi meninggalkanku!  Aku sangat marah!  Dan kamu tidak pernah mencoba melakukan satu gerakan pun!  Tidak satu pun!  Tapi bagian terburuknya adalah setelah semua usaha yang kulakukan untuk menyembunyikannya, kamu akhirnya tahu kalau aku adalah otaku seiyuu... Aku ingin menghilang...” katanya, sambil menangis, tanpa menghela napas.

 "A-Apakah kamu serius?"

 Jadi sejak awal dia benar-benar menyukaiku?  Itu tidak bisa dipercaya, tapi dia sendiri yang mengatakannya, ‘kan?  Tapi kenapa?!  Bagi gadis-gadis kepopuleranku sebanding dengan kecoa, dan terakhir kali seseorang memanggilku tampan adalah saat aku masih TK.

 Aku teringat kembali saat Mashiro dan aku pertama kali bertemu.  Pada hari itu, aku melakukan yang terbaik untuk terlihat sebaik mungkin, untuk mencapai — akan kukatakan — hasil yang cukup baik.  Itu, tentu saja, semuanya berkat Kokoro.  Dia mengajariku cara menata rambut, cara memilih pakaian, dan cara merapikan diri dengan benar.  Dan mendapatkan hasil yang luar biasa, seorang gadis semanis Mashiro berpikir kalau aku adalah "tipenya."

 Tentu saja, aku masih kesulitan mempercayai apa yang dia katakan.  Aku setengah senang, setengah kaget.

 “Aku tidak peduli jika kamu suka seiyuu pria!  Apakah aku berhak menilai orang dari hobi mereka?  Aku hanya menghabiskan sebagian besar waktuku bermain game gacha dan menonton anime!”  Kataku padanya, membiarkan kata-kataku mengalir tanpa berpikir.  “Kenapa kamu menyembunyikannya?”

 Dia bisa saja menyelamatkan dirinya dari kekusutan ini dan jujur sejak awal ...

 "Dulu ketika aku masih SMP, aku selalu membicarakan tentang itu sepanjang waktu ... dan anak laki-laki akan menggertakku karena itu," katanya.

 Mashiro, seorang gadis yang sangat menarik, diganggu oleh anak laki-laki?!

 "Dan kamu juga kaget, ‘kan...?"  dia bertanya dengan sedih.

 “Lebih dari itu, aku kaget dengan kenyataan kamu menyembunyikan kepribadianmu yang sebenarnya dariku.  Aku hanya berharap kamu jujur sejak awal, dan memberi tahuku tentang apa yang benar-benar kamu suka.  Hal-hal yang berkaitan dengan seiyuu pria bukanlah hobi yang aneh,” jawabku.

 “B-Benarkah—?”

 Aku tidak mendapat kesempatan untuk menjawab.  Aku menyadari kalau owner sedang berjalan ke arah kami.

 "Ah!  Lihat di sana!"  Kataku.  Aku tidak punya alasan untuk takut padanya, tapi Mashiro bisa dihukum karena melanggar peraturan kafe.

 Lebih baik jika dia tidak melihat kami berbicara satu sama lain tepat di depan kafe...

 "Aku akan pergi agar kamu tidak mendapat masalah!"  kataku, dan dia berdiri diam di sana, tercengang, menatap ke arahku.

 Aku naik kereta sendirian, tapi memastikan untuk mengirim pesan kepada Mashiro.

 “Terima kasih sudah jujur padaku.  Jika kamu mau, aku ingin membicarakan banyak hal kapan-kapan. ”

 Aku tidak yakin bagaimana perasaanku, atau apa yang seharusnya kurasakan.  Aku sudah tidak tergila-gila pada Mashiro seperti dulu, aku juga sudah tidak benar-benar terluka seperti beberapa hari yang lalu.

 Dia mengungkapkan warna aslinya, tapi itu juga berarti dia bukan pacar impianku.  Meski begitu, melihatnya menangis sambil mengatakan padaku kalau dia menyukaiku telah menghangatkan hatiku.  Aku ingin tahu lebih banyak tentang Mashiro—Mashiro yang sebenarnya.  Aku ingin berteman dengan gadis yang hampir tidak kukenal ini.

 Dia, entah kenapa, tidak langsung membaca pesanku.


"Aku pulang."

 “Oh, hai,” Kokoro menyapaku dari dapur.

 "Apa menu makan malam hari ini?"

 “Babi bumbu jahe dan sup miso.”

 "Oh!  Kedengarannya enak!"

 "Hmm?  Apakah ini hanya perasaanku atau atau kau memang sedang bersemangat hari ini? ”  dia bertanya.

 “T-Tidak juga...”

 “Kau menyeringai sendiri.  Menyeramkan…” katanya, tapi kata-katanya yang kasar itu tidak menggangguku sama sekali.

 Saat aku memutuskan untuk memberi tahu Kokoro tentang apa yang terjadi dengan Mashiro saat makan malam, ponselku mulai berdering.

 Siapa sih setan pengganggu ini?  pikirku, buru-buru memeriksa ponselku.

 Tidak seperti dugaanku.  Itu Elena, dia meneleponku melalui LINE.  Gugup dan bingung, karena kami belum pernah telponan sebelumnya, aku berlari ke kamarku.

 "H-Halo?"  kataku, berusaha menjaga suaraku agar tidak terdengar gemetar.  Aku bisa menghitung dengan jari jumlah panggilan telepon yang kulakukan dengan para gadis.

 Kenapa dia tiba-tiba menelponku?  Apakah dia baik-baik saja...?

 "Halo.  Maaf karena meneleponmu tiba-tiba ... Apakah kamu punya waktu untuk berbicara?”  Suara Elena mencapai telingaku melalui telepon.

 "Oh ya!  Aku bisa!"

 "Luar biasa.  Begini, hari ini aku mengadakan pertemuan dengan perusahaanku, tentang videoku kedepannya.  Karena kamu adalah orang yang memberiku saran dan memotivasiku, aku ingin memberi tahumu tentang hal itu dengan mulutku sendiri daripada melalui pesan.  A-Apakah tidak masalah?”

 "Tidak masalah!  Aku tidak tahu kamu sudah mengadakan pertemuan itu!  Aku benar-benar ingin tahu bagaimana hasilnya!”

 “T-Terima kasih!  Aku berhasil memberi tahu mereka tentang semua masalah yang kudapat dengan kebijakan baru-baru ini.  Dan mereka mengatakan kalau kedepannya, aku tidak perlu membuat video yang membuatku tidak nyaman, terutama video yang sangat tidak disukai penggemar.  Aku harus terus berusaha untuk menemukan penonton baru, tapi aku juga akan boleh melakukan apa yang sebelumnya selalu kulakukan dan kusukai: berbicara tentang hobiku, bermain game yang kusuka, dan sebagainya.”

 "Benarkah?!  Itu luar biasa!  Pertemuan itu berjalan lancar ya!”

 "Kupikir mereka mendengarkan pendapatku karena aku menemukan keberanian untuk memberi tahu mereka secara langsung ... dan aku menemukan keberanian itu berkatmu."

 "Hah?"

 “Kamu mendengarkan ceritaku dan memberikan kata-kata baik seperti itu, yang memberiku kepercayaan diri untuk berbicara dengan mereka.  Terima kasih banyak."

 "A-Aku benar-benar tidak melakukan apa-apa, tapi aku senang semuanya berjalan lancar!"

 “Aku juga senang!”

 Sebagai seorang penggemar Elena dan Emily Saionji, ini adalah berita yang luar biasa.  Fakta kalau dia sangat mengandalkanku, dan dia bahkan meneleponku untuk memberi tahuku tentang bagaimana kelanjutannya, membuatnya lebih baik lagi.

 “I-Ichigaya...”

 "Ya?"

 “Aku belum pernah punya pacar sebelumnya, dan aku tidak pernah punya teman dekat laki-laki, jadi... Terima kasih sudah begitu baik padaku.  Aku meneleponmu tanpa pikir panjang tentang itu, tapi ... kamu sebelumnya menyebutkan kalau kamu sedang mencari pacar, ‘kan?  Apakah kamu sudah punya pacar?  Jika kamu sudah punya pacar, seharusnya aku tidak meneleponmu ... Maaf ... "

 “Oh, jangan khawatir, aku masih belum punya pacar—”

 “B-Benarkah...?!”  katanya, anehnya terdengar bahagia.

 Dia pasti senang karena aku masih jomblo!  Itu artinya... Tidak, tidak, aku terlalu kegeeran.  Dia hanya senang tidak masalah meneleponku, pasti.

 “D-Dalam hal ini, ketika aku membutuhkan saran, aku ingin terus membicarakannya denganmu.  Jika itu tidak mengganggumu, tentu saja…”

 “Itu tidak menggangguku sama sekali!  Aku akan dengan senang hati membantu!”

 "Benarkah?  Itu sangat luar—”

 Tok tok tok.

 “Ichigaya!  Aku dari tadi memanggilmu dari bawah!  Apa kau dengar? ”

 Oh sial!  Apa Minami mendengarnya?!

 "Aku masuk!"  kata Kokoro, membuka pintu tanpa menunggu jawabanku.  “Oh, kau di sini!  Kenapa kau tidak menjawab panggilanku?”

 "Tunggu, tidak, kau—" Aku bahkan tidak bisa mengatur kalimatku.

 “Aku dari tadi bilang makan malam sudah siap!  Itu akan segera dingin!  Oh, tunggu... kau sedang menelepon?”

 "S-Suara itu ..." kata Elena, kaget.  “Apakah itu... Nishina?  Apakah kalian berdua... tinggal bersama?”

 "Hah?  Suara di telepon itu... Apakah itu Minami?”  Kokoro bertanya, sama terkejutnya.

 Aku sudah kehabisan akal.  Panggilan teleponnya masih berlanjut, tapi aku mendapat pemberitahuan pesan baru dan melihat layar untuk membacanya.

 "Aku akan pulang ke Jepang sendiri bulan depan."

 "Apa?"

 Pesan itu dari Kisaki, yang sudah lama tidak kulihat.  Kisaki, adik perempuanku.  Aku benar-benar membeku karena kebingungan.

 Dia akan pulang?  Sendiri?  Bagaimana bisa?!  Aku tidak tahu itu akan terjadi!  Nishina tinggal di sini...!

 "Apa yang terjadi, Ichigaya?!"

 “H-Halo?  Ichigaya...?  Apa kamu masih di sana?"

 Kokoro masuk ke kamarku.  Elena mendengar suaranya melalui telepon.  Kisaki baru saja memberitahuku kalau dia akan pulang ke Jepang.  Aku membeku, tercengang, sama sekali tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari yang masalah ini.


Translator: Janaka


1 Comments

Previous Post Next Post

Post Ads 1

Post Ads 2